Kata “menulis” tentunya sudah tidak asing lagi dan sering kita dengar. Meskipun demikian, kita sering enggan atau jarang melakukannya. Berbagai alasan mungkin mendasari hal ini, seperti kesibukan yang tiada henti, kurangnya minat, dan faktor lain yang menjadikan menulis bukan prioritas sehari-hari. Jujur, saya termasuk salah satu orang yang mengalami hal ini saat ini.
Disadari atau tidak, menulis memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun, itu bukanlah alasan utamanya. Enggan adalah jawabannya. Saya sempat tergelitik oleh kenyataan ini ketika dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita menjadi aktor utama. Harus dan segera terjun ke dalamnya menjadi pendorong untuk melakukan aktivitas menulis tersebut.
Sejak kecil, saya sebenarnya suka menulis. Namun, saat ini, ketika usia memasuki angka tiga dengan satu digit lagi di belakangnya, hobi tersebut bukan lagi prioritas utama. Berkarir dan mencari kesibukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga terasa lebih menjanjikan. Namun, satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah, “Ilmu tanpa diamalkan tidak akan berguna.” Dari sini, kita seharusnya ingat bahwa setiap huruf ilmu yang kita peroleh harus diamalkan agar dapat disebut bermanfaat.
Menurut saya, tulisan adalah mahakarya yang sarat makna. Ditulis dengan daya, rasa, dan karsa, tulisan ini mengandung nyawa bagi siapa saja yang menyelaminya. Mampu menghasilkan karya tulisan adalah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Bagaimana tidak, ketika menulis, kita selalu berargumen dengan hati dan mencari inspirasi. Berdamai dengan segudang kesibukan sembari mendisiplinkan diri agar tetap istiqamah dalam menulis adalah tantangan tersendiri. Jika bukan dari diri kita sendiri, lalu siapa lagi yang akan memulainya?
Mengikuti ajang lomba atau sejenisnya adalah hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Dari sini, kemampuan menulis kita dapat terasah dengan baik, sekaligus menajamkan pola pikir serta meruncingkan imajinasi dan daya pikir yang mungkin belum sepenuhnya tereksplor. Salah satunya adalah lomba yang diprakarsai oleh Kelompok Kerja Guru Pendidikan Agama Islam (KKG PAI) tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten Blitar dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun 2024. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Dari pengalaman ini, keinginan menulis saya kembali muncul, terdorong untuk mencoba dan berusaha menjadi lebih baik.
Awalnya, saya terdorong oleh rasa ingin tahu dan tantangan untuk bereksperimen dengan kata-kata, meskipun sempat muncul pertanyaan di benak saya, “Apakah saya bisa?” Namun, saya segera menepis pertanyaan tersebut, menganggapnya sebagai bisikan yang hanya membuat kita merasa tidak percaya diri dan malas untuk memulai.
Dalam menulis, ada satu hal yang perlu kita pedomani: jangan pernah takut salah. Tulis sebanyak mungkin tanpa menghapusnya. Bulatkan tekad dan semangat untuk mencoba, dan jangan berhenti berusaha untuk menjadi lebih baik. Selami tema yang ada dengan memadukan insting dan realita di lapangan. Aktualisasikan tulisanmu dengan berbagai kemungkinan, baik yang bertentangan maupun yang sejalan.
Dalam suatu ajang perlombaan, menang atau kalah adalah hal yang lumrah; tidak ada yang salah dengan keduanya. Menjadi juara adalah bonus bagi peserta, sementara jika kalah, itu bisa menjadi motivasi dan pengalaman untuk menjadi lebih baik di masa depan.
Masuk enam besar di ajang menulis tingkat kabupaten tentunya menjadi kebanggaan tersendiri, namun kita tetap harus rendah hati. Semakin termotivasi dan terinspirasi untuk menjadi lebih baik adalah harapan yang ingin diwujudkan suatu saat nanti. Kami juga berkomitmen untuk menularkan semangat ini kepada teman-teman Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) di kecamatan.
Berkarya dengan menulis, mengapa tidak? Kapan Anda akan memulainya?
Semoga menginspirasi.
Blitar, 20 September 2024
Penulis: Ahmad Mukhlisin (Juara harapan 3 Lomba Menulis GPAI tahun 2024)
Penyunting: Siti Nazarotin, S.Ag (Ketua Tim Jurnalistik KKG PAI Kab. Blitar)
Ilustrasi gambar: anteroaceh.com/news/